Merawang, kabarxxi.com – Diduga lemahnya penindakan hukum membuat aktivitas tambang timah ilegal semakin leluasa di Daerah Aliran Sungai (DAS) Desa Jada Bahrin, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka. Meski jelas dilarang undang-undang, ratusan ponton tambang tetap beroperasi dan mengatasnamakan masyarakat.
Kapolres Bangka AKBP Deddy Dwitiya Putra, S.H., S.I.K. mengungkapkan pihaknya telah memerintahkan Kapolsek Merawang untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. “Terima kasih infonya pak, sudah kami sampaikan ke Kapolsek untuk dilidik dan tindak lanjuti,” kata Deddy.
Mirisnya, empat kolektor yang disebut sebagai penampung timah ilegal di wilayah ini masih bebas berkeliaran. Mereka adalah Kamal, Buyung, Milui, dan Runggul. Meski proses lidik tengah berjalan, aktivitas transaksi timah di sungai tetap berlangsung.
Informasi lain menyebut, aktivitas tambang tersebut dikoordinir oleh oknum yang mengaku sebagai wartawan. Bahkan, saat dikonfirmasi, Candra yang dikenal mengoperasikan ponton di lokasi mengaku masih beraktivitas. Ia juga meminta awak media agar tidak memberitakan masalah ini.
“Saya ini kan ada ponton kerja di situ, tolong lah handle dulu berita itu nanti saya negosiasi dengan masyarakat,” ucap Candra.
“Hari ini ada orang kerja, kalau kalian mau ke lokasi temuin saja Sadiman, dia ada di pos itu,” tambahnya.
Candra bahkan terang-terangan menawarkan fee Rp2 ribu per kilogram timah kepada wartawan agar pemberitaan bisa dikendalikan. “Jadi ku minta tolong, tolong di-cancel dulu, kalau sudah kerja bisa lah saya atur. Pron sekarang paling banyak 50 unit, kemarin sempat stop karena razia. Tolong yah berita itu dihapus dulu dari group-group,” jelasnya.
Sementara itu, salah satu kolektor bernama Buyung saat dikonfirmasi memilih bungkam dan belum memberikan tanggapan.
Aktivitas tambang apung di DAS Jada Bahrin ini dikhawatirkan menimbulkan kerusakan lingkungan. Ekosistem perairan terancam, habitat buaya menjadi rawan konflik, serta sedimentasi berpotensi mencemari sungai yang sehari-hari dimanfaatkan warga untuk mencari ikan, kepiting, dan udang.
Padahal, aliran sungai tersebut selama ini juga menjadi lokasi favorit pemancing udang, baik bagi warga lokal maupun pendatang. Masyarakat berharap aparat dan pemerintah segera bertindak tegas. “Kalau dibiarkan terus, bukan hanya lingkungan yang rusak, tapi juga bisa timbul konflik sosial, bahkan konflik antara buaya dan manusia,” tutup salah satu warga. (Red/Syl)






