Bogor, Kabarxxi.com – Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) Kabupaten Bogor kembali memantapkan perannya, bukan sekadar sebagai pemadam api dadakan, tetapi kini naik kasta menjadi penjaga perbatasan wilayah. Dalam rentang akhir Oktober hingga November 2025, delapan daerah dirangkul dalam satu barisan koordinasi. Judulnya heroik: pengamanan perbatasan. Geraknya pun diklaim cepat, meski publik tetap bertanya, cepat menurut siapa?
Langkah ini dibungkus dalam jargon kolaborasi lintas wilayah. Damkar tak lagi hanya sibuk menyemprot api kompor atau kabel korslet, tetapi juga bersiap menghadapi potensi kebakaran dan bencana lintas batas administratif. Sebuah lompatan peran yang, diatas kertas, tampak elegan dan penuh visi.
Delapan daerah yang dirangkul seolah menjadi simbol bahwa Bogor tidak mau berdiri sendiri. Dari urusan hulu hingga hilir, dari batas gunung sampai pinggir kota, semua dipetakan. Damkar Kab Bogor tampil sebagai dirigen, mengatur ritme kesiapsiagaan bersama. Tepuk tanganpun nyaris terdengar, setidaknya dari ruang-ruang rapat.
Namun sebagaimana lazimnya proyek lintas daerah, publik mungkin menyimpan satu pertanyaan klasik: seberapa konkret kesiapan di lapangan? Jangan sampai kolaborasi ini berhenti pada spanduk, seremonial, dan unggahan media sosial, atau benar-benar menjelma selang, air, armada, dan personel yang siaga 24 jam?
Diatas kertas, sinergi ini dijanjikan sebagai solusi atas keterbatasan armada dan personel. Dengan saling menopang, wilayah perbatasan tak lagi menjadi “zona abu-abu” saat api datang. Tidak ada lagi alasan soal kewenangan, kata mereka. Api tak mengenal administrasi, begitu dalihnya.
Sayangnya, publik Bogor masih akrab dengan cerita klasik: mobil damkar datang terlambat karena jarak, air kurang karena debit, atau petugas kewalahan karena personel minim. Maka wajar jika gerak cepat ini tetap diuji dengan satu indikator sederhana: api padam lebih cepat atau tetap jadi tontonan warga?
Dari sisi kebijakan, langkah ini patut dicatat sebagai upaya progresif. Ada semangat keluar dari sekat wilayah. Ada kehendak membangun sistem bersama. Ini bukan perkara ringan. Mengatur satu daerah saja rumit, apalagi delapan daerah.
Disisi lain perlu dipertanyakan: bagaimana pembiayaan kolaborasi ini? Dari pos anggaran mana armada bergerak? Bagaimana standar operasional lintas daerah disatukan? Jangan sampai misi besar berakhir sebagai jargon besar tanpa ukur kinerja yang jelas.
Damkar Kabupaten Bogor sendiri kini berdiri di persimpangan penting. Di satu sisi, ia sedang membangun citra sebagai institusi responsif dan modern. Di sisi lain, ia diuji oleh realitas klasik pelayanan publik: keterbatasan alat, anggaran, dan manajemen krisis di lapangan.
Jika kolaborasi delapan daerah ini benar-benar berjalan efektif, Bogor patut berbangga. Agar kelak tidak hanya menjadi catatan rapat dan baliho kegiatan, karena jika terjadi maka publik akan menyalakan api kritik yang lebih panas dari kebakaran itu sendiri.
(Red).






