Jakarta, Kabarxxi.com – LQ Indonesia Lawfirm memberikan tanggapannya terkait pernyataan Eros Djarot yang mengingatkan masyarakat bahwa Indonesia saat ini mengalami krisis moralitas dalam sebuah podcast.
Advokat Bambang Hartono, SH, MH, Kadiv Humas LQ Indonesia Lawfirm, mengucapkan keprihatinan terhadap situasi ini.
“Sekarang, semua masyarakat bisa merasakan betapa krisis moralitas para aparat penegak hukum dan pejabat pemerintahan sudah semakin parah dan jauh dari harapan,” ujarnya (18/3/2023)
Advokat Bambang Hartono, SH, MH, Kadiv Humas LQ Indonesia Lawfirm menyatakan, moralitas aparat penegak hukum dan pejabat pemerintahan yang semakin rusak dan jauh dari nilai Pancasila.
“Contohnya, Jenderal Polisi bintang dua Ferdi Sambo terbukti sebagai pembunuh, Jenderal Polisi bintang dua Teddy Minahasa adalah seorang bandar narkoba, dan Jaksa Agung juga terbukti menggunakan 3 KTP dengan data yang berbeda dan diduga palsu. Bahkan, pejabat pajak diduga menggunakan uang rakyat untuk membeli kendaraan mewah seperti Rubicon dan Harley. Di mana moralitas para pejabat pemerintah Indonesia?,” ujarnya (18/3/2023).
Verawati, salah satu korban masyarakat, mengeluhkan kurangnya tindakan dari Kapolda Metro Jaya dalam menangkap seorang DPO bernama Natalia Rusli sejak Desember 2022. Meski Polres yang sama berhasil meringkus Ajudan Pribadi dalam waktu singkat, 576.000 personel POLRI tidak mampu menahan Natalia Rusli.
“Menurut pendapat saya, bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena tidak ada kemauan atau moralitas dari para petugas POLRI untuk menjalankan tugasnya. Saya merasa kecewa karena harapan saya bahwa institusi POLRI bisa profesional dan melayani masyarakat ternyata masih jauh dari kenyataan,” ungkapnya.
Alwi Susanto, korban masyarakat yang telah melaporkan kasus ke Polda Metro Jaya sejak 2020, juga merasa kecewa dengan kinerja POLRI.
“Sudah tiga tahun saya melaporkan Raja Sapta Oktohari (RSO) yang tidak mengembalikan uang saya sebesar 2 miliar rupiah. Malah, saya digugat balik oleh RSO sebesar 450 miliar rupiah. Ini sungguh tidak masuk akal! Di mana moralitasnya? Korban justru ditindas dan tidak mendapat perlindungan dari pemerintah. Kepada siapa saya bisa meminta keadilan jika kepolisian tidak mampu menegakkan keadilan?” ujarnya.
Kapolda Metro Jaya terlihat enggan menangkap Raja Sapta Oktohari dan pengacaranya, Natalia Rusli, meskipun keduanya sudah menjadi tersangka dan buron. Natalia Rusli dikenal karena perilakunya yang tidak kooperatif dan menolak hadir dalam pemeriksaan polisi, yang menghina lembaga kepolisian.
Sayangnya, Kapolda Metro Jaya, Marwah, tampak tidak berani menangkap Natalia Rusli dan justru melarikan diri dari tugasnya sebagai kepala kepolisian daerah.
“Hal ini sangat memalukan, karena seorang jenderal Polisi bintang dua dikalahkan oleh seorang wanita muda seperti Natalia Rusli. Komentar dari Alvin Lim, ketua kami, bahwa Natalia Rusli sebenarnya adalah Kapolri, bukan Listyo Sigit, sepertinya benar adanya. Jika moralitas Polri krisis seperti ini, bagaimana masyarakat bisa menghormati Polri?,” sambung Bambang.
Sebelumnya, Natalia Rusli pernah mengeluarkan pernyataan di media bahwa “Polisi dapat dibeli, dibayar untuk dijadikan alat sekehendak kita. Mengapa saya harus takut pada pihak kepolisian? Bayar saja untuk menyelesaikan masalah.” Ucapan Natalia Rusli dan anaknya, Dylan Nathaniel, ketika membocorkan jalannya gelar perkara di Irwasda Polda Metro Jaya.
Natalia Rusli menunjukkan kedekatannya dengan Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil Imran, dalam sebuah foto, sehingga meskipun dia sudah menjadi buron dan tersangka dalam kasus penipuan dan penggelapan lawyer fee senilai puluhan miliar, dia tidak ditangkap. Bahkan menurut bukti video yang beredar, Natalia Rusli tinggal dengan nyaman di salah satu rumah milik RSO dengan kelima anaknya.
Saat ini diketahui bahwa Natalia Rusli memiliki hubungan intim dengan Tersangka Koperasi Pracico, Teddy Agustiansyah, dan menerima aliran dana dan aset senilai ratusan miliar dari Pracico, termasuk kapal Timah dan tanah di Bali, serta mobil Alphard B1 MTG yang diperoleh dari pencucian uang kasus Pracico.
Keduanya telah menjadi tersangka di kepolisian, namun kepolisian enggan menahan mereka. Mereka dijadikan tersangka agar dapat berfungsi sebagai ATM Berjalan dan masih dapat menghasilkan uang. Krisis moralitas dalam hal ini sangat nyata.